Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired
Immune Deficiency Syndrome( AIDS)
adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau sindrom)
yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh
manusia akibat infeksi virus HIV atau
infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya
sendiri bernama Human
Immunodeficiency Virus (atau
disingkat HIV)
yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena
virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor.
Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus,
namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan
virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh
yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang
terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan,
bersalin, atau menyusui,
serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan
umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara. Kini
AIDS telah menjadi wabah penyakit.
AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah
menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada
tanggal 5 Juni 1981.
Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam
sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta
jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di
antaranya adalah anak-anak. Sepertiga
dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat
pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana.
Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi
HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.
Hukuman sosial bagi
penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita
penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut
tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam
merawat orang yang hidup
dengan HIV/AIDS (ODHA).
Gejala dan komplikasi
Berbagai gejala AIDS
umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan
tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem
kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum
didapati pada penderita AIDS. HIV memengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar
menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan
kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS
memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam,berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar,
kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi
oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat
kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
1. Penyakit Paru-Paru
Pneumonia pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang
memiliki kekebalan tubuhyang baik,
tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyebab
penyakit ini adalah fungi Pneumocystis
jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara
Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara
berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang
yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika
jumlah CD4 kurang dari 200 per µL.
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara
infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang
yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan
mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV,
serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC
terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini.
Meskipun
munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena
digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya,
namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV
paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel
per µL), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi
HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh
lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak
spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang
menyertai infeksi HIV sering menyerangsumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat. Dengan
demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya
penyakit ekstrapulmoner.
1.
Penyakit
Saluran Pencernaan
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur
makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini
terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes
simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun
dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya
langka.]
Diare kronis
yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai
penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli),
serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium
avium complex, dan virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).
Pada beberapa kasus, diare terjadi
sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani HIV, atau
efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu,
diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri
diare (misalnya pada Clostridium
difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan
merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran
pencernaan menyerap
nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang
berhubungan dengan HIV.
2.
Penyakit
Syaraf dan kejiwaan
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam
kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae),
yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang telah menjadi
rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini
biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga
dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan
paru-paru.[15] Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum
tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat
menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual,
dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak
ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi,
yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi
serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak
penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70%
populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan
penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi
pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar
(multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan
setelah diagnosis.
Kompleks demensia AIDS adalah penyakit
penurunan kemampuan mental (demensia)
yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan
oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofagdan mikroglia pada otak yang mengalami infeksi HIV,
sehingga mengeluarkan neurotoksin Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak
dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul
bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan
rendahnya jumlah sel T CD4+ dan
tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di
negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%,namun di India hanya
terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV. Perbedaan ini mungkin terjadi karena
adanya perbedaan subtipe HIV di India.
PENYEBAB
AIDS merupakan bentuk terparah atas
akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirusyang biasanya
menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak
sel T CD4+ secara
langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+dibutuhkan agar
sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga
kurang dari 200 permikroliter (µL) darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah
kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV
akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV
awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi
tertentu.
Tanpa terapi
antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV
menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup
setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan Namun demikian, laju perkembangan
penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai
20 tahun. Banyak faktor yang memengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh
untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang
terinfeksi. Orang tua umumnya
memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga
lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang
terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat
mempercepat perkembangan penyakit ini. Warisan genetik orang yang terinfeksi juga memainkan
peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa variasi
genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju
perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula. Terapi antiretrovirus yang sangat
aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta
rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.
Penularan seksual
Penularan (transmisi) HIV secara
seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan
preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual
reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif
tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko
hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena
HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum
meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan
sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi
HIV.
Penyakit
menular seksual meningkatkan
risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat
kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan
sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar
empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin
seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko
tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya
penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal
limfosit dan makrofaga.
Transmisi HIV bergantung pada tingkat
kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum
terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan
tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi
tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat
kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan
81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1
karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan
kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih
dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.
Kontaminasi patogen
melalui darah
Jalur penularan ini terutama
berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderitahemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan
menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah
yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya
merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi
penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru
HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik
Rakyat Cina, dan Eropa Timur. Resiko
terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang
terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure
prophylaxis dengan
obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu. Pekerja fasilitas
kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga
dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi
pada orang yang memberi dan menerima rajah dantindik tubuh. Kewaspadaan
universal sering kali
tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber
daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua
infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas
kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa,
didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di
dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui
fasilitas kesehatan.
Resiko penularan HIV pada penerima
transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor
bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki
akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia
terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".[43]
Penularan masa
perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat
terjadi melalui rahim (in utero)
selama masa perinatal,
yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak
ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan
adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap
terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat
penularannya hanya sebesar 1%.Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi,
terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus,
semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar
4%.
Tes HIV
Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka
terinfeksi virus HIV. Kurang dari
1% penduduk perkotaan di Afrika yang
aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih
sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan
yang mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS,
menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih
kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan. Dengan demikian, darah dari
para pendonor dan produk darah yang digunakan untuk
pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya.
Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV
dan pengujian Western blot, dilakukan
untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum,plasma, cairan mulut, darah
kering, atau urin pasien.
Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan
infeksi yang dapat dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat
bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula
tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk mendeteksi
infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun
metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi
HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.
PENCEGAHAN
Tiga jalur utama (rute) masuknya virus
HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau
jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar
kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada air liur, air mata dan
urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi
dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara
umum dapat diabaikan.
Hubungan seksual
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpapelindung antarindividu yang salah satunya
terkena HIV. Hubunganheteroseksual adalah modus utama infeksi HIV di
dunia. Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat
mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta
kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom
yang lazim mengurangi risiko penularan HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka
panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar
dalam setiap kesempatan. Kondom laki-laki berbahan lateks,
jika digunakan dengan benar tanpapelumas berbahan
dasar minyak,
adalah satu-satunya teknologi yang paling efektif saat ini untuk mengurangi
transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular seksual lainnya. Pihak
produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak babi tidak
digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat melarutkan
lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen
menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air.
Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom poliuretan.
Kondom wanita adalah
alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan, yang memungkinkannya untuk digunakan dengan
pelumas berbahan dasar minyak. Kondom wanita lebih besar daripada kondom
laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka keras berbentuk cincin, dan
didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina.
Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam
vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya
ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak
terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa dengan
tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara
keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung
sehingga kondom wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang penting.
Penelitian terhadap pasangan yang
salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang
konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi adalah di
bawah 1% per tahun. Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di
negara-negara maju. Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan
keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan berisiko
tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko
yang mereka hadapi atas infeksi HIV. Namun demikian, transmisi HIV
antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah
menjadi cukup langka di negara-negara maju.
Pada bulan Desember tahun 2006,
penelitian yang menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi
HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan
pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling
parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan
masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli
mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki
bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga mengurangi
dampak dari usaha pencegahan ini.
Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan
menganjurkan Pendekatan ABC untuk menurunkan risiko terkena HIV
melalui hubungan seksual. Adapun rumusannya dalam bahasa Indonesia:
“
|
Anda jauhi seks,
Bersikap saling setia dengan pasangan, Cegah dengan kondom. |
”
|
Pekerja kedokteran yang mengikuti
kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik
dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi pencegahan AIDS
menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang
diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat suntik,
kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu
menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi
tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas
kesehatan dan program penukaran jarum.
Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di
penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah
melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan
dari apotek tanpa perlu resep dokter.
Penularan dari ibu
ke anak
Penelitian menunjukkan bahwa obat
antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang
penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT). Jika
pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah,
terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak
menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat
terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan
pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin. Pada tahun 2005,
sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui
penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika. Dari semua anak yang diduga kini hidup
dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat
untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang
diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus
atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak
dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP). PEP memiliki jadwal empat minggu
takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak
menyenangkan seperti diare,
tidak enak badan, mual, dan lelah
Terapi antivirus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi
antiretrovirus yang sangat aktif (highly
active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat
bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996,
yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa
kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri dari
paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor,
atau dengan non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor(NNRTI). Karena penyakit HIV
lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka
rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang
dewasa. Di negara-negara
berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan
mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta
kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal.
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya
gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia
tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam
tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali
setelah perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur
hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun
demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan
umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas
tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV. Tanpa
perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan
rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu
bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan
waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang
jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan
hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan
tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan
infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan
dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan
individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan atas
sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu
psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya
dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART
juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis,
pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin . Berbagai
efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan
HAART, antara lain lipodistrofi,dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada
bayi yang dilahirkan.
Obat anti-retrovirus berharga mahal,
dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap
pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut.
Penanganan
eksperimental dan saran
Telah terdapat pendapat bahwa hanya
vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik global (pandemik) karena biaya
vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara
berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20 tahun
penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin.
Beragam penelitian untuk meningkatkan
perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi
obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi
pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian
menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi
bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan
B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko
terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga
disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis,
demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang
akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut.
Pengobatan
alternatif
Berbagai bentuk pengobatan alternatif
digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit. Akupunkturtelah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala,
misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram,
kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek
obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman
obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah
kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius.
Beberapa data memperlihatkan bahwa
suplemen multivitamin dan
mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa,
meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas)
akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen vitamin A pada
anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat. Pemakaian selenium dengan
dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV melalui terjadinya
peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan sebagai terapi pendamping
terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak dapat
digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas.
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa
terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan
morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang
mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif
tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya.
Namun oleh penelitian yang
mengungkapkan adanya simtoma hipotiroksinemia pada penderita AIDS yang terjangkit virus HIV-1,
beberapa pakar menyarankan terapi dengan asupan hormon tiroksin. Hormon tiroksin dikenal dapat meningkatkan laju metabolisme basal sel eukariota dan
memperbaiki gradien pH pada mitokondria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar